Bukik Marapalamadalah puncak bukit tertinggi di kabupaten Tanah Datar,Provinsi Sumatera Barat, Sekarang kawasan ini lebih terkenal dengan nama Puncak Pato. Pemandangan dari atas Puncak Pato yang menawan, menjadikannya destinasi yang tepat untuk berfoto-foto. Namun siapa sangka, disana tersimpan sejarah besar ninik mamak orang Minangkabau.
Marapalam sendiri dipercayai berasal dari kata ‘marapek alam’yang artinya merapatkan atau mengeratkan hubungan. Sedangkan Puncak Pato sendiri berasal dari kata ‘Patamuan’, yang berarti pertemuan.
Sebelum Islam masuk ke wilayah Sumatra Barat, masyarakat Minang mengambil pedoman dalam menjalani hidup dengan melihat alam sebagai guru. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama Islam masuk, masyarakat Minang dapat dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat Minang itu sendiri.
Pada masa penjajahan Belanda, kolonial Belanda mengadu domba masyarakat Minang dengan memunculkan pertentangan dan perbedaan pendapat, yang melatar belakangi munculnya Perang Paderi. Untuk mengakhiri pertentangan dan perbedaan pendapat ini, dilaksanakanlah Piagam Bukik Marapalam yang disebut juga Sumpah Sati Bukik Marapalam. Perjanjian ini merumuskan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Perjanjian ini dilaksanakan di puncak Pato, Tanah Datar, yang disebut juga bukit Marapalam. Daerah ini dipilih karena posisinya yang strategis karena terletak di wilayah perbukitan antara Kecamatan Lintau dengan Kecamatan Sungayang. Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik. (Wahyu/GMP)
Comment