Berdasarkan Sidang Penetapan Warisan Budaya Tak benda (WBTB) Indonesia dari tanggal 13 sampai 16 Agustus 2019 di Jakarta, 13 Karya Budaya Sumatera Barat ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak benda Indonesia Tahun 2019 bersama 267 Warisan Budaya Tak benda Indonesia yang ditetapkan tahun 2019.
Penetapan ini melalui proses panjang diawali sejak bulan Februari 2019 melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat mengusulkan 52 Karya Budaya WBTB dari 16 Kabupaten/Kota. Dari Verifikasi Tim Provinsi 32 usulan di sampaikan ke Direktorat Warisan Budaya dan Diplomasi Budaya, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk di verifikasi oleh Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Hasil verifikasi 1 diperoleh 21 usulan, hasil verifikasi ke 2 diperoleh 19 karya budaya dan dari verifikasi ke 3 diperoleh 14 karya budaya.
Dari 14 karya budaya yang diverifikasi akhir kemudian dipresentasikan dalam sidang penetapan warisan budaya Indonesia di Jakarta. Tim WBTB Sumatera Barat tahun 2019 terdiri dari Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat (Dra. Hj. Gemala Ranti, M.Si.), Dr. Pramono, M.Si., (Akademisi), Undri, S.S, M.Si (BPNB Sumatera Barat), Aprimas,S.Pd.,M.Pd., (Kepala Bidang Warisan Budaya dan Bahasa Minangkabau), Nurdayanti, S.Sos.MM (Kasi Warisan Budaya dan Kepurbakalaan), Sidang pentapan ini juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pesisir Selatan, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasaman, Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto, serta Bachtiar dan Abdul Rahman (Budayawan dari Kabupaten Pesisir Selatan).
Hasil sidang dihadapan Tim Ahli WBTB Indonesia 2019 yang dihadiri oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dari 14 karya budaya tersebut ditetapkan 13 karya budaya Sumatera Barat menjadi Warisan Budaya Tak benda Indonesia tahun 2019, dan 1 karya budaya ditangguhkan untuk diusulkan tahun 2020.
Adapun 13 karya budaya yang telah ditetapkan ini yakni : Babiola (Domain Seni Pertunjukan) dari Kabupaten Pesisir Selatan, Talempong Unggan (Domain seni Pertunjukan) dari Kabupaten Sijunjung, Tari Benten (Domain seni Pertunjukan) dari Kabupaten Pesisir Selatan, Sikerei (Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan) dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Botatah (Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan) dari Kabupaten Pasaman, Arak Bako (Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan) dari Kota Solok, Songket Silungkang (Domain Kemahiran Kerajinan Tradisional) dari Kota Sawahlunto, Tari Sikambang Manih (Domain Seni Pertunjukan) dari Kab Pesisir Selatan, Tari Kain (Domain Seni Pertunjukan) dari Kab Pesisir Selatan, Anak Balam (Domain Tradisi dan Ekspresi Lisan) dari Kab Pesisir Selatan, Diki Pano (Domain Seni Pertunjukan) dari Kabupaten Pasaman, Patang Balimau (Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan) dari Kab Pesisir Selatan, Badampiang (Domain Tradisi dan Ekspresi Lisan) dari Kabupaten Pesisir Selatan.
Kegiatan ini dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 yang diselenggarakan secara terpadu di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta Pusat. Pekan Kebudayaan Nasional merupakan salah satu agenda strategis yang dirumuskan dari hasil Kongres Kebudayaaan Indonesia pada bulan Desember tahun 2018. Agenda Strategis tersebut yaitu, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif. Strategi ini di jawab dengan resolusi yaitu melembagakan Pekan Kebudayaan Nasional sebagai platform aksi bersama yang memungkinkan dan meningkatkan interaksi kreatif antar budaya. Kedepannya seluruh kabupaten/kota agar mencatat dan mendaftarkan karya budayanya untuk diusulkan menjadi WBTB Indonesia dengan mengacu kepada dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) kabupaten/kota, serta karya budaya yang ada di masyarakat.
Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat dalam berbagai kesempatan menyampaikan beberapa hal yang terkait tentang langkah tugas kedepan yakni perlu menginventaris kembali yang sudah ditetapkan tahun-tahun sebelumnya (dari tahun 2014) dan dijadikan bahan evaluasi sejauh mana pemerintah kabupaten/kota telah berkomitmen melestarikannya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagaimana yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kebudayaan semua pihak harus melangkah ke depan memajukan budaya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Dr. Hilmar Farid menyampaikan bahwa Pemerintah Daerah yang karya budaya telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak benda Indonesia dan yang telah menerima sertifikat diharapkan tidak terhenti pada kegiatan penetapan ini, tetapi yang terpenting adalah melakukan tindak lanjut terhadap Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang telah ditetapkan tersebut agar tetap dapat hidup dan bermanfaat bagi masyarakar luas. Karya budaya baik yang telah dicatat ataupun ditetapkan diharapkan dapat masuk dalam kurikulum pendidikan.
Arak Bako (Domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan) dari Kota Solok yang menjadi salah satu penerima sertifikat Warisan Budaya Tak Benda merupakan sebuah tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kota Solok dalam sebuah proses acara perhelatan.

Tradisi Arak Bako adalah salah satu rangkaian acara penting dalam prosesi perkawinan adat Solok. Istilah Arak Bako terdiri dari dua kata, yaitu ”arak” dan ”bako”. Kata ”arak” dalam bahasa Minangkabau termasuk ke dalam jenis kata kerja yang berarti ”bawa”. Kata ”arak” ini jika ditambah dengan awalan ”ba” akan membentuk sebuah kata ”bararak” yang berarti ”pawai”, ”parade”. Satu kata lagi yaitu ”bako”. Kata ”bako” terkategori kedalam jenis kata benda. Bako berarti saudara perempuan dari pihak ayah keluarga garis ibu dari pihak ayah.
Orang-orang yang terlibat dalam tradisi Arak Bako adalah pihak bako dari si anak daro. Pihak Bako ini meliputi induak bako paling dekat hingga yang agak jauh, bahkan bisa juga hanya sebatas hubungan tetangga terdekat dari rumah si induak bako. Induak bako terdekat maksudnya, kakak atau adik kandung yang perempuan dari bapak/ayah si anak daro, sedangkan yang agak jauh bisa berasal dari isteri para kakak atau adik kandung dari ayah si anak daro. Para perempuan tersebut diundang dan didaulat sebagai anggota rombongan yang menyertai pihak bako si anak daro melakukan tradisi Arak Bako. Rombongan Arak Bako ini berjalan kaki dengan membentuk barisan satu banjar ke belakang. Semakin banyak jumlah anggota rombongan tradisi Arak Bako maka menandakan bahwa keluarga si bapak memiliki saudara yang banyak.
Ada hal yang unik dan khas dalam tradisi Arak Bako ini. Para peserta rombongan Arak Bako yang telah ”dikatoan” (diundang) pihak si pangka ini, dapat saja menyambung barisan Arak Bako ini dari rumahnya atau tempat tertentu yang diinginkannya, yang mana pada tempat itu dilalui oleh rombongan barisan Arak Bako tersebut. Jadi ”si alek” (dalam hal ini adalah para peserta rombongan) Arak Bako tidak mesti berkumpul dulu di rumah Bako si anak daro, walaupun itu memang memungkinkan untuk dilakukan. Selain itu, keunikan dan sekaligus keramaian juga tampak pada iring-iringan Arak Bako yang turut dimeriahkan oleh alat musik tradisional, seperti talempong, Pupuik batang padi dan gendang.
Tradisi Arak Bako dilaksanakan sejak dari rumah induak bako (rumah ibu dari ayah anak daro) hingga menuju rumah orang tua si anak daro. Perarakan dilakukan dengan cara berjalan kaki di pinggir jalan raya dalam sebuah barisan berbanjar satu ke belakang. Posisi paling depan ditempati oleh seorang kaum ibu dengan memakai kostum hitam diatas kepalanya membawa sirih pinang yang di sebut sebagai ‘’urang tuo ‘’ setelah itu dilanjutkan dengan barisan kedua mempelai ( anak daro ). Pada barisan setelah anak daro baru di iringi oleh jejeran kaum ibu dengan Katidiang (bakul) warna hitam yang iringannya bisa mencapai 500 orang. Setelah sampai di rumah si anak daro, semua barang bawaan dalam ketiding hitam tersebut diterima oleh salah seorang perempuan di halaman rumah anak daro. Perempuan ini menyalin semua isi ketiding hitam yang dibawa rombongan Arak Bako. Kemudian, si perempuan yang bertugas sebagai ”panjawek baban” (penerima beban) ini langsung mengisi lagi ketiding hitam tersebut dengan nasi, gulai nangka, dan nasi lamak sebagai imbalan atau pemberian balasan dari pihak si anak pisang (keluarga si anak daro). Proses serah terima ketiding hitam ini berlangsung di halaman rumah si anak daro.
Setelah proses serah terima ketiding ini berlangsung, setiap anggota rombongan Arak Bako dijamu makan nasi oleh pihak keluarga si anak daro di dalam rumah. Usai jamuan makan nasi dengan aneka sambal dan lauk pauk, para anggota rombongan Arak Bako meninggalkan rumah si anak daro sambil menyerahkan kembali si anak daro kepada orang tuanya. Hingga pada tahap ini resmilah pihak bako telah mengantar anak pisangnya secara adat istiadat ke rumahnya kembali. Artinya, secara adat istiadat yang berlaku, pihak bako telah turut merestui hajat pernikahan dan perkawinan yang akan dilaksanakan oleh anak pisangnya. Nilai yang terkandung didalamnya mempererat hubungan keluarga ayah dengan ponakannya, karena Minangkabau memiliki hubungan matrilineal yang dekat hubungan kekerabatan dengan ibu.(Wahyu/GMP)

Comment