by

Syech Abdul Karim Amrullah Sang Pembaharu

-NATIONAL, NEWS, TOURISM-1,733 views

Abdul Karim Amrullah merupakan salah satu ulama besar pada awal abad 20 yang merupakan ayah dari Buya Hamka. Dia termasuk ulama pembaharu yang kegigihannya dalam berdakwah seperti mewarisi sang guru, Syaikh Ahmad Khatib al - Minangkabawi.

Abdul Karim Amrullah lahir di sebuah rumah Pinggiran Danau Maninjau tepatnya di Jorong Batuang Panjang, Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, pada 17 safar 1296 H atau 10 Januari 1879 di Maninjau Sumatera Barat. Abdul Karim Amrullah di masa kecilnya diberi nama Muhammad Rasul. Di masa awal, dia belajar bahasa Arab ke ayahnya sendiri yaitu Syaikh Muhammad Amrullah yang saat itu dikenal sebagai Syaikh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Setelah itu dia belajar tafsir dan fikih kepada Sutan Muhammad Yusuf, salah satu tokoh agama di Sungai Rotan, Pariaman.

Pada tahun 1894 pada usia 15 tahun Abdul Karim Amrullah berangkat ke Mekkah, untuk berhaji dan tinggal disana selama 7 tahun untuk belajar. Di Tanah Suci, pelajaran agama Islam didapatnya dari seorang ulama asal minangkabau bernama Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang waktu itu menjadi guru dan Imam di Masjidil Haram. Saat belajar dia seangkatan dengan Muhammad Jamil Jambek yang juga berasal dari Sumatera Barat dan di kemudian hari nanti dikenal sebagai ahli ilmu Falak.

Kecuali kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Abdul Karim Amrullah juga berguru kepada sejumlah ulama terkenal lainnya seperti, Syech Abdullah Jamidin, Syech Usman Serawak, Syech Umar Bajened dan Syech Saleh Bafadal.

Pada tahun 1901 dia pulang ke kampung halamannya dan mengajar di Sungai Batang Maninjau. Pengaruh sang guru yaitu Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi membuatnya menjadi seorang yang kritis terhadap adat Minangkabau dan kepada tarekat-tarekat di Sumatra Barat, khususnya Tarekat Naqsyabandiyah.

Abdul Karim Amrullah mencoba meluruskan praktik tarekat yang menurutnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Upaya dia tidaklah mudah. Pertama, ulama yang sepaham dengan dia tidak banyak. Kedua, dia harus menghadapi ulama - ulama yang tak lain adalah pengikut ayahnya sendiri, seorang syech dari Tarekat Naqsyabandiyah.

Pertentangan paham antara anak dan ayah pun tak terhindarkan. Meski demikian, Abdul Karim Amrullah tetap berusaha menjaga hubungan baik dan tetap berbakti kepada sang ayah. Sebaliknya, timbul rasa bangga pada si ayah ketika mengetahui kegigihan pendirian anaknya. Sang ayah bangga bahwa si anak menjadi seorang yang pemberani.

Beberapa tahun kemudian, Abdul Karim Amrullah kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu lagi. Niat tersebut kurang disepakati oleh sang guru, Syaikh Ahmad Khatib. Alasannya, dia dinilai justru sudah layak menjadi guru. Anjuran tersebut dipatuhi Abdul Karim Amrullah. Dia pun membuka “kelas” di rumahnya di Mekkah sehingga murid Abdul Karim Amrullah makin lama makin banyak.

fgdgdgdg

Pada tahun 1906 dia pulang kembali ke Indonesia. Sebagaimana kepulangannya yang pertama, kali ini dia langsung melakukan kegiatan mengajar di Sungai Batang. Oleh karena pikiran - pikiran pembaharuan Abdul Karim Amrullah dipandang “beda”, maka tak mengherankan jika banyak pihak yang menentangnya. Hal itu justru malah menyebabkan namanya menjadi lebih cepat terkenal.

Selain dengan mengajar, untuk lebih mempercepat tersosialisasikannya gagasan-gagasan barunya, pada tahun 1912 Abdul Karim Amrullah lalu bergabung dengan Syech Abdullah Ahmad untuk mengelola Majalah Al-Munir yang merupakan majalah Islam pertama di Indonesia pada tahun 1911.

Abdul Karim Amrullah masih merasa belum cukup bila ide - idenya hanya disebarkan melalui forum - forum pengajian, ceramah-ceramah, dan tulisan-tulisan di Al - Munir. Untuk itu dia kemudian mendirikan lembaga pendidikan modern yaitu Sumatera Thawalib pada tahun 1918. Sumatera Thawalib adalah sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Pada tahun yang sama, untuk lebih menunjang keberhasilan lembaga tersebut, Abdul Karim Amrullah mendirikan Persatuan Guru - guru Agama Islam (PGAI) bersama dengan Syech Abdullah Ahmad.

Mengingat keberhasilannya di bidang pembaharuan dan di aspek pendidikan agama khususnya, kedua tokoh yaitu Abdul Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad dianugerahi gelar Dr (HC) oleh Al-Azhar Kairo Mesir pada 1926. Prestasi itu sangat membanggakan karena tercatat sebagai orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari universitas terkemuka dan tertua di dunia itu.

Pada sekitar tahun - tahun itu pula, Abdul Karim Amrullah mengadakan perjalanan ke Jawa dan sempat bertemu dengan HOS Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan. Mereka lantas bertukar pikiran. Dari situ, dia menangkap kesan yang mendalam dan di bawanya ke Sumatera Barat bahwa Islam perlu diperjuangkan dengan sebuah organisasi yang baik. Maka, dia pun mengubah perkumpulannya, Sendi aman, menjadi Cabang Muhammadiyah di Sungai Batang, kampung halamannya sendiri.

Sejak 1926, di samping aktif mengajar, Abdul Karim Amrullah juga mulai dikenal sebagai penulis buku - buku agama yang produktif. Kecuali itu, dia dikenal kritis kepada penjajah yang hukumnya tak adil dan peraturannya sewenang-wenang.

Kesemua aktivitas Abdul Karim Amrullah terutama yang suka mengkritisi penjajah oleh Pemerintah Belanda dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya bagi kelangsungan politik kolonialismenya. Maka, pada tahun 1941 Abdul Karim Amrullah ditahan di Bukittinggi dan pada tahun yang sama dipindahkan ke Sukabumi Jawa Barat.

Jika kepada penjajah Belanda di berbagai kesempatan dia selalu melontarkan kecaman terhadap hukum dan peraturannya yang zalim, maka kepada penjajah Jepang dia tegas menolak keharusan membungkukkan badan ke arah timur laut untuk menghormati Tenno Haika. Menurut dia, bagi pemeluk Islam, tidak ada yang harus disembah selain Allah.

Abdul Karim Amrullah seorang ulama kharismatik itu di masa - masa akhir hidupnya memilih untuk tinggal di Jawa. Dia seringkali mengadakan pengajian - pengajian di Jakarta dan Sukabumi yang selalu dihadiri banyak jamaah.

Pada 2 Juni 1945 Abdul Karim Amrullah wafat dalam usia 66 tahun. Insya Allah dia termasuk ayah yang berbahagia karena putranya, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (terkenal dengan panggilan HAMKA) juga menjadi seorang ulama besar.

Pada mulanya makamnya berada di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Maninjau. Di sisi makam beliau  dimakamkan adiknya yang bernama Syech Yusuf Amrullah yang lahir pada tanggal 25 April 1889 dan wafat pada tanggal 19 Oktober 1972. Pada saat ini, komplek makam dilengkapi dengan perpustakaan. (Wahyu/GMP)

dfsfsffs

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.