Sejak berdirinya, masjid ini sempat
mengalami kerusakan yang cukup berarti akibat gempa, seperti pada tahun 1926 dan
terakhir 2009. Namun sejak dibangun, masjid ini belum
pernah dipugar secara besar-besaran. Renovasi yang pernah dilakukan hanya
berupa pelurusan menara yang miring pada tahun 1975 dan penggantian seluruh keramik lama dengan yang baru sekitar tahun 1990-an.
Saat ini, selain digunakan untuk
aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan
sebagai sarana pendidikan agama. Awalnya, masjid ini juga sempat dijadikan
tempat penyusunan strategi perjuangan menghadapi penjajahan Belanda.
Masjid ini mulai
dibangun pada tahun 1908, sebagai pengganti Masjid Atap Ijuk di Rao Rao
yang dibongkar karena kondisi bangunannya sudah tidak layak. Di tanah
wakaf H. Mohammad Thaib suku Caniago, masjid ini dibangun secara bersama – sama
oleh masyarakat Nagari Rao Rao atas prakarsa Abdurrachman Datuk Majo
Indo. Pada akhir tahun 1918 pembangunan masjid ini dapat diselesaikan.
Arsitektur pada masjid ini merupakan
perpaduan dari berbagai corak, umumnya yaitu Persia dan Minangkabau.
Seperti arsitektur masjid khas Minangkabau lainnya, atap masjid ini berbentuk
limas yang terdiri dari empat undakan dengan permukaan cekung, hanya saja di
tingkatan atap teratas terdapat ruang berbentuk persegi dengan empat atap
bergonjong mengarah ke empat penjuru mata angin, sementara pada bagian menaranya
terdapat ruang berbentuk segi delapanberatapkan kubah.
Di dalam ruang salat berdiri empat
tiang utama yang terbuat dari beton. Di bagian mihrab masjid yang baru
dibuat mimbar permanen pada tahun 1930, dihiasi hiasan berupa pecahan kaca
keramik. Mimbar tersebut berukuran 3 × 1,38 meter dengan tinggi 3,1 meter. (Wahyu/GMP)
Leave a Reply