Sultan Suriansyah berasal dari keturunan raja-raja Kerajaan Negara Daha. Ia merupakan Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak dialah agama Islam berkembang resmi dan pesat di Kalimantan Selatan. Untuk pelaksanaan dan penyiaran agama Islam dia membangun sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Sultan Suriansyah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan.

Semasa kecil sebelum memeluk Islam, Sultan Suriansyah bernama Raden Samudera kemudian berganti nama menjadi Pangeran Samudera. Raden Samudera adalah anak dari Puteri Galuh Beranakan Ratu Intan Sari yaitu puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Nama Bapaknya adalah Raden Mantri Alu, keponakan Maharaja Sukarama. Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar.
Sukarama adalah raja Banjar Hindu kelima yang kerajaannya berpusat di tepi sungai Nagara. Pangeran Samudera mendapat wasiat dari ayahnya untuk mewarisi tahta kerajaan. Hal ini membuat para pangeran yang lain kecewa termasuk Pangeran Tumenggung dan Pangeran Mangkubumi.
Saat Raja Sukarama meninggal, Pangeran Samudra yang saat itu berusia 7 tahun diselamatkan oleh Arya Tranggana dengan dihanyutkan di sungai Nagara yang bermuara ke Banjarmasin. Sementara Pangeran Samudera di Banjarmasin dirawat dan diangkat oleh Patih Masih. Patih senior yang disegani yang membawahi 4 distrik, mewakili empat arah mata angin di Bandarmasih (Banjarmasin).
Wasiat Pangeran Samudera untuk mewarisi tahta kerajaan berawal ketika seorang raja atau calon pengganti raja mestilah putra tertua raja yang lahir dari ibu yang juga berdarah raja Putera Gahara. Hal ini mengacu pada pasangan Suryanata dan Junjung Buih sebagai idealisasinya. Para tutus raja atau garis lurus keturunan raja-raja dalam konsepsi Hinduistik yang juga berarti tutus naga dalam konsepsi religi asli, diyakini sebagai wakil dewa di dunia. Tradisi ini dengan sendirinya menjadi sumber legitimasi politik bagi setiap penguasa yang silih berganti bertahta.
Meskipun Kesultanan Banjar yang muncul pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam, namun tradisi politik yang diwariskan dari masa Negara Dipa itu ternyata tetap kuat mewarnai proses suksesinya. Aturan ini rupanya sangat dipahami oleh Maharaja Sukarama, raja kedua Negara Daha (kelanjutan Negara Dipa). Diceritakan dalam Hikayat Banjar, raja ini mempunyai empat orang istri dan empat orang putra dan satu orang putri. Mereka masing-masing adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Pangeran Bagalung, Pangeran Jayadewa, dan si bungsu perempuan bernama Putri Galuh Baranakan. Keempat istri raja tersebut rupanya tidak berdarah bangsawan, sehingga sang raja mengawinkan Putri Galuh Baranakan dengan putra saudaranya sendiri, Raden Bagawan, yang bernama Raden Mantri. Pasangan Galuh dan Mantri kemudian mempunyai seorang anak bernama Raden Samudera. Maharaja Sukarama menganggap cucunya ini memiliki keturunan bergaris lurus yang lahir dari kedua orang tua yang sama-sama berdarah raja, sehingga diputuskan sebagai penggantinya kelak. Meski anak-anaknya keberatan atas keputusan itu, tapi sang ayah bersikukuh: “Maski bagaimana kata angkau karna sudah ia si Samudera itu ringan bibirku” (Hikayat Banjar). Pengingkaran terhadap wasiat raja ini, oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumanggung karena ambisi tahta, membawa Kerajaan Negara Daha pada keruntuhannya.
Pangeran Samudera pun dinobatkan menjadi raja setelah meraih kemenangan memerangi penjajah dari kota yang dulu bernama Bandarmasih. Kemenangan yang diraih oleh Pangeran Samudera tidak terlepas dari bantuan Kerajaan Demak yang sewaktu itu mengutus salah satu murid sunan Bonang yaitu Khatib Dayan.
Bala bantuan ini tentu bukan tanpa syarat,bertepatan 6 Zulhijjah 932 H atau 24 september 1526 Pangeran Samudera harus membaca syahadat. Setelah masuk Islam, ia berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. Proses pindah agama ini dramatis dan politis. Menandai runtuhnya Kerajaan Hindu Daha dan berdirinya Kesultanan Islam Banjar dan islam pun berkembang pesat di Banua.

Comment