by

Baraja – Masjid Bingkudu Canduang Di Bangun Pada Era Perang Paderi

Menurut sejarah Masjid Bingkudu atau disebut juga dengan Masjid Jamiak Bingkudu merupakan sebuah masjid tertua di Jorong Bingkudu Kenagarian Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Masjid ini dibangun pada tahun 1823 M atau awal abad ke-19 oleh Haji Salam atau lareh Canduang yang bergelar Inyiak Basa beserta tokoh lainnya. Lokasi pendirian masjid ini di pelopori oleh tujuh nagari, yaitu: Canduang, Koto Laweh, Lasi Mudo, Pasaneh, Bukit, Batabuah dan Lasi Tuo.

 Masjid Raya Bingkudu yang berukuran 21 x 21 meter ini dibangun pada era Perang Paderi yang tengah berkecamuk. Selain tempat beribadah, masjid ini juga digunakan sebagai tempat perundingan para ulama dan pejuang untuk mengatur strategi menghadapi tentara Belanda pada saat itu.

Bangunan utama Masjid Bingkudu menghadap ke arah barat, dan pintu masuk utama ada di sebelah timur. Hampir semua material yang digunakan untuk membuat masjid ini terdiri dari kayu, seperti lantai, dinding maupun tiang-tiangnya. Lantai masjid terbuat dari papan kayu surian yang disusun rata membujur dari arah barat ke timur. Barangkali yang akan selalu membuat kita terkesima ialah perihal Tiang terbesar di tengah ruangan (Tiang Macu) masjid yang diambil dari Bayuah (Bayue) Kenagarian Tanjung Alam, Kabupaten Tanah Datar. Tiang itu dibawa dengan cara digotong secara estafet oleh masyarakat melalui Koto Tinggi menuju Masjid Bingkudu. Jalur pengangkut tiang inilah yang menjadi pembuka jalan (hubungan) antara Batusangkar dengan Baso. Arsitektur atap masjid ini juga unik, bertumpang tiga yang memiliki filosopi konsep kepemimpinan di Minangkabau, yakni Tigo Tungku Sajarangan terdiri dari,Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai.
Pertama kali dibangun masjid ini beratapkan ijuk, dan sekarang sudah diganti dengan atap seng seperti genteng. Selain itu, bangunan masjid ini dibuat tanpa paku, hanya dilekatkan pakai pasak dan masjid ini memiliki 53 tiang untuk menopang bangunan agar tidak roboh. Di dalam ruang utama masjid terdapat 25 buah tiang, terletak di tengah-tengah ruang utama yang terbuat dari beton berbentuk segi duabelas dan berdiameter 1,25 meter. Sekeliling tiang utama terdapat 24 tiang kayu berbentuk segi enambelas yang berdiameter antara 20-45 cm. Keindahan ukiran-ukiran motif khas Canduang terdapat di beberapa sisi masjid ini. Pada bagian atas pilar terdapat motif seperti daun paku, sekarang dikenal sebagai paku kadaka. Lalu, lekuk-lekuk daun bersulur pada bagian langit-langit dan pilar-pilar masjid yang bewarna biru muda. Selain itu, pada mihrab terdapat tulisan menggunakan huruf Arab dan latin yang menunjukkan angka tahun 1316 H atau 1906 M. Angka ini diduga merupakan angka tahun pembuatan mihrab tersebut.
0207052021

Pada pekarangan masjid ini juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 30 meter, dengan tangga naik berbentuk spiral. Seperti masjid lainnya, di menara ini dahulu terdapat Cenang (Gong) besar yang dibunyikan pada setiap waktu sholat datang. Menara ini juga digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara. Didekat jalan menuju menara terdapat sebuah Tabuah (beduk) besar yang dibunyikan setiap sebelum azan. Sekarang Tabuah pertama itu sudah mulai rapuh dan hanya dipajang di depan pintu utama masjid.

Di samping masjid terdapat makam seorang ulama yang sangat berpengaruh di daerah Canduang semasa hidupnya. Beliau adalah Syekh Ahmad Taher yang meninggal pada 13 Juli 1962. Beliau adalah rekan sejawat ulama besar Canduang lainnya, Syekh Sulaiman Arrasuli. Dari masjid ini pulalah syiar Islam di Kanagarian Canduang masyhur ke pelosok negeri hingga ke Pekanbaru hingga Malaysia. Hingga saat ini pun, tradisi religi dalam memupuk ulama terus berkembang dari masjid ini.(Wahyu/GMP)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.